Jumat, 20 Desember 2013

Astronot Muslim

Muslim pun pernah melakukan perjalanan ke luar angkasa. Perjalanan ini membuat Agen Luar Angkasa Malaysia menyelenggarakan konferensi dengan mengumpulkan 150 peneliti muslim tentang bagaimana cara beribadah di luar angkasa. Hasilnya, sebuah dokumen diproduksi pada 2007 dengan judul Panduang Melakukan Sholat di Stasiun Angkasa Luar Internasional dan telah disetujui oleh Dewan Fatwa Nasional Malaysia. Lalu, siapakah astronot muslim itu? Inilah daftarnya.


1. Sultan bin Salman bin Abdul-Aziz Al Saud
Sultan bin Salman bin Abdul-Aziz Al Saud merupakan orang arab dan muslim pertama yang terbang ke luar angkasa. Dirinya merupakan mantan pilot Angkatan Udara Arab Saudi yang terbang melalui misi Sekoci Angkasa Luar STS-51-G sebagai penumpang spesial pada 17 Juni 1985. Sultan bin Salman sendiri merupakan cucu dari raja Ibn Saud dan merupakan satu-satunya warga Arab Saudi yang terbang ke angkasa luar. Dia juga merupakan Ketua Komisi Pariwisata dan Barang Antik Saudi.

Sultan bin Salman bin Abdul-Aziz Al Saud (Sumber: astronaut.ru)

2. Muhammed Faris
Pria kelahiran 26 Mei 1951 ini merupakan penerbang militer Syiria. Dia merupakan warga negara Syiria pertama dan orang arab kedua yang pergi mengunjungi luar angkasa pada 22 Juli 1987. Perwira kelahiran Aleppo, Syiria, ini merupakan pilot Angkatan Udara Syiria berpangkat Kolonel. Dia terbang sebagai astronot peneliti Uni Soviet menggunakan Soyuz TM-3 menuju stasiun luar angkasa Mir dan menghabiskan 7 hari, 24 jam, dan 5 menit di luar angkasa. Dia kembali ke bumi menggunakan Soyuz TM-2. Muhammed Faris dianugerahi julukan Pahlawan Persatuan Soviet pada 30 Juli 1987. Dia juga menerima penghargaan Perintah Lenin.

Muhammad Faris / kiri (Sumber: metaexistence.org)

3. Musa Manarov
Pria kelahiran Baku, Azerbaijan SSR pada 22 Maret 1951 ini bernama lengkap Musa Khiramanovich Manarov dan berada dalam urutan ketiga astronot muslim yang pernah berkunjung ke luar angkasa. Dia merupakan kolonel Angkatan Udara Uni Soviet yang lulus dari Institut Penerbangan Moskow dengan gelar teknisi diploma pada 1974. Musa sendiri terpilih sebagai astronot Uni Soviet pada 1 Desember 1978. Pada 21 Desember 1987 hingga 21 Desember 1988, dia terbang menggunakan Soyuz TM-4 menuju luar angkasa sebagai teknisi penerbangan. Pada kali pertamanya berkunjung ke luar bumi, dia menghabiskan waktu 365 hari, 22 jam, dan 38 menit. Kemudian, menggunakan Soyuz TM-11, Musa melakukan penerbangan keduanya ke luar angkasa dan menghabiskan waktu selama 175 hari, 1 jam, 50 menit di luar angkasa. Hal ini dilakukannya pada 2 Desember 1990 hingga 26 Mei 1991. Dengan mengumpulkan waktu 541 hari di luar angkasa, Musa menjadi astronot dengan waktu terpanjang di luar angkasa pada saat itu.

Musa Manarov (Sumber: leuband.de)

4. Abdul Ahad Mohmand
Abdul Ahad Momand dilahirkan pada 1 Januari 1959 dan merupakan mantan penerbang Angkatan Udara Afghanistan yang menjadi orang pertama di negaranya yang pergi ke luar angkasa. Dirinya menghabiskan waktu 9 hari di stasiun luar angkasa Mir pada 1988 sebagai Astronot Peneliti Interkosmos Rusia. Abdul sendiri merupakan muslim keempat yang bisa meraih luar angkasa.

Mohmand Abdul (Sumber: wikimedia)

5. Toktar Aubakirov
Urutan kelima muslim pernah ke luar angkasa adalah Toktar Ongarbayuly Aubakirov yang merupakan pensiunan perwira Angkatan Udara Kazakhstani sekaligus mantan astronot Rusia. Pria kelahiran 27 Juli 1946 ini terbang keluar angkasa sebagai komandan penerbangan pada 2 Oktober 1991 menggunakan Soyuz TM-13. Toktar menghabiskan 8 hari di luar angkasa. Dia juga merupakan warga negara Uni Soviet pertama yang pergi ke luar angkasa tanpa tersertifikasi sepenuhnya sebagai astronot Uni Soviet.

Aubakirov (Sumber: img377.yukle)

Sumber: Wikipedia.org, 2011 via uniknya.com

Hisab dan rukyat

Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.

Hisab

'Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

Rukyat

Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat. [1]
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut

Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah

Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:

Rukyatul Hilal

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

Wujudul Hilal

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.

Imkanur Rukyat MABIMS

Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
  • Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
  • Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.
  • Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.
Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.

Rukyat Global

Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya. Prinsip ini antara lain dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.

Perbedaan Kriteria

Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012, dimana awal bulan Ramadhan ditetapkan Muhammadiyah tanggal 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan awal bulan Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.

Jumat, 06 Desember 2013

Antara "BIMA" dan Astronomi

"Sepertinya bintang takdirnya bersinar terang,
  Menjadi harapan tak padam ditelan masa,
  Tak pernah hilang untuk jiwa yang abadi."
Ost. Bima Satria Garuda (Ungu-Seperti Bintang)

Siapa tak kenal BIMA? Ya, anda mungkin fannnya. Bima adalah sosok dalam serial TV RCTI berjudul "BIMA" dimana ia diceritakan sebagai tokoh yang ramah dan santun.

"Kok jadi nyeritain bima sih?!"
Oke, sebenernya mimin cuma mau sedikit cerita tentang...
"Tentang BIMA?!"
Bukan, tapi soundtracknya itu lho..
"Emang kenapa?
Yuk kita bahas.

Dari kutipan lirik diatas, memiliki makna yang dalam banget buat mimin. "kenapa?"

Sepertinya bintang takdirnya bersinar terang.
Bintang sejatinya  diciptakan untuk menemani malam dan juga petunjuk baik arah, musim, waktu dsb. ini kutipan dalil-nya :
"6:97 Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui."
"Lantas?" Ya, bintang memang ditakdirka untuk menemani malam kita dengan sinarnya. "andai bintang tak bersinar bagaimana?"

Kurang lebih seperti inilah yang akan terjadi jika suatu bintang meredup.
"Kok malah tambah terang?"
Bukan, itu namanya Nova (Supernova untuk yang lebih.)


Nova/Supernova bisa terjadi ketika bintang meredup dan terus meredup, hingga akhirnya meledak dan dinamakan nova / supernova dan inilah akhir dari kehiduppan bintang  alias bintang tak bersinar lagi....
"Ohh,, gitu to."







 Menjadi harapan tak padam ditelan masa, tak pernah hilang untuk jiwa yang abadi.
Nah, kalo yang ini mah pengalaman mimin dan mungkin beberapa diantara kita...
"67:5 Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang............"
ya, mendengar dalil tersebut mimin yakin, kalau yang namanya bintang itu obat untuk menemani kita baik disaat suka maupun duka, dan mimin yakin bahwa bintang itu hanya diperuntukan bagi "jiwa yang abadi" artinya hanya bagi orang yang mau bersyukur atas nikmat tuhannya...  Karena bagaimanapun hanya segelintir orang yang ingin dan berusaha untuk mengamati bintang tersebut..



"Wah, ternyata maknanya luas juga ya, bukan hanya sebagai soundtrack, tapi bisa untuk mendekatkan diri dengan Tuhan semesta alam..."